B A B I
ASAL MUASAL BAHASA
Tujuan makalah ini ialah untuk mengemukakan secara ilmiah bahwa bahasa Arab adalah bahasa pertama yang diajarkan Tuhan kepada manusia, dan semua bahasa lain terbentuk dari padanya. Pernyataan ini mungkin nampak lahirnya terlalu dogmatik. Tetapi ketahuilah bahwa ini adalah sesuatu kebenaran tanpa bayangan keraguan sedikitpun. Oleh karena itu para pembaca dimohon dengan sabar menelaah halaman demi halaman dengan hati bersih, tidak terkotori oleh teori-teori bahasa yang telah ia sadap selama ini. Memang sungguh sukar untuk melepaskan prasangka-prasangka akan tetapi bagi mereka yang mendambakan kebenaran, kesadarannya akan selalu terbuka.
Pernyataan semacam ini, telah berulangkali dikemukakan bagi bahasa Sansakerta, Belanda, Italia, dan Iberani. Tetapi semuanya gagal. Semua usaha itu menunjukkan adanya suatu tujuan yang akan dicapai, dan kegagalannya hanya membuktikan kesalahan jalur yang seharusnya diikuti. Kegagalan-kegagalan masa lampau justru kadang-kadang memimpin ke arah keberhasilan di masa mendatang.
Dengan pengantar tadi, sebenarnya tidaklah terlalu penting untuk membicarakan, kecuali secara sepintas, teori-teori yang berbeda tentang asal-usul dan perkembangan bahasa, seperti: teori onomatope, teori interjeksi, dan teori gesture, yang berkembang luas dalam satu saat tapi kemudian lenyap kembali. Boleh dikata teori-teori semacam itu sudah usang ibarat mata uang yang tak beredar lagi. Teori-teori itu berawal dari praduga, dan berakhir dalam keraguan, serta membawa kepada kebingungan. Tetang teori ding-dong dari Maxmuller, Jesperson mengatakan:
“Teori yang dikemukakan Maxmuller dan kemudian dengan bijaksana ditinggalkannya, hanya merupakan pemuas rasa ingin tahu belaka.”
( Jesperson, hal. 415 )
Asal muasal bahasa memang diliputi misteri. Teori onomatope, atau dengan sederhana disebut teori bunyi, hanyalah suatu lompatan di dalam gelap. Disangkanya kata-kata terbentuk dari tiruan bunyi-bunyian alam yang dikeluarkan oleh benda-benda mati umpamanya: ding-dong, tik-tok, dor, wus, prit, dan lain-lain, atau oleh benda-benda hidup, umpama: gug-gug, meong, kukuruyuk, trilili, dan lain-lain. Tetap basis utama teori ini tidak logis, sebab mencari kelanjutan dari yang jelas nyata ke yang tak diketahui dan misterius. Dan setiap alasan tidak bertolak dari penalaran yang pasti. Sesuatu yang tak diketahui tak mungkin menjadi diketahui, kecuali kalau memang sudah diketahui pada asalnya. Oleh karena itu teori ini tak berdasar. Hanya berangkat dari anggapan belaka.
Teori interjeksi mempunyai praduga bahwa suara yang diucapkan secara spontan karena luapan emosi adalah pangkal timbulnya percakapan, dan hal ini banyak mengandung kelemahan kalau harus dibuktikan dengan alasan yang tepat.
Teori onomatope sudah sangat tua. Ibnu Jinni (932 – 1002) mengacu para ahli filologi sebelumnya yang mempercayai teori ini.
“Dan banyak diantara mereka yang berpendapat bahwa semua bahasa dibentuk dari suara-suara yang terdengar, seperti desir angin, gelegar guruh, percik air, ringkik kuda, kokok ayam, dan sebagainya. Dari sini lah bahasa terjadi.”
( Alkhasais, hal. 45 )
Sepuluh abad sesudah itu, muncullah suatu ulasan yang mirip dengan kutipan tadi.
“Diperkirakan bahwa saat itu manusia masih belum bisa berbicara, kemudian mendengar bunyi-bunyi burung, anjing, guruh, ombak samudera, desir hutan, dan angin.”
( Science of Language, jilid II hal. 336 )
Herder, seorang filosof Jerman (1744 – 1803) telah dikritik oleh Maxmuller sebagai berikut:
“Setelah mempertahankan mati-matian teori onomatope ini, dan setelah mendapatkan hadiah dari Akademi Berlin atas makalah terbaik tentang asal-usul bahasa, kemudian terus terang membuang teori itu pada tahun-tahun akhir hayatnya, kemudian ia menceburkan diri ke dalam kelompok yang berpendapat bahwa bahasa adalah sesuatu yang diwahyukan secara gaib.”
( Science of Language, jilid II hal. 398 )
Demikianlah, teori ini telah lenyap tanpa bekas, dan Maxmuller terpaksa mengakui:
“Jelas kita tidak punya sarana untuk memecahkan masalah asal-usul bahasa secara historis atau menerangkannya sebagai suatu fakta yang benar-benar telah terjadi pada suatu tempat dan waktu tertentu.”
( ibid, hal. 381)
Memang benar bahwa manusia bisa menirukan bunyi dari benda mati maupun benda hidup. Dan hampir dalam semua bahasa ada kata-kata onomatope barang beberapa buah. Akan tetapi itu adalah ucapan-ucapan tanpa arti dan jumlahnya amat sedikit atau boleh dikata hampir tak ada kalau dibandingkan dengan kosa kata yang jumlahnya sedemikian besar pada setiap bahasa. Alasan bahwa karena manusia dapat menirukan bunyi dan karena demikian mereka harus membentuk bahasanya atas dasar bunyi, adalah suatu hal yang tidak nyata. Kemampuan berbicara ada bersama dengan kemampuan menirukan bunyi dan tidak harus meniadakan yang lain. Sedang kemampuan menirukan bunyi hanyalah sebagian kecil saja dari kemampuan berbicara. Kata-kata berisi kebijaksanaan, penalaran, dan logika, dapat menerangkan seluruh alam, kehidupan manusia, nafsu-nafsunya dan pikiran-pikirannya, dan juga menerangkan untuk apa mereka hidup dan bekerja, tidaklah bisa dinalar sebagai hasil dari bunyi-bunyi yang terbentuk spontan saja.
Kiranya menarik untuk mengikuti catatan berikut:
“Spekulasi tentang asal usul bahasa sejati sudah biasa terdapat dimana-mana, lebih banyak di kalangan para filosof dari pada para filolog (diantaranya belum lama ini W. Schmidt) melihat tidak memadainya teori-teori bahasa pada umumnya, dan berlepas tangan dari usaha untuk menerangkannya dengan cara yang wajar, dan akhirnya menyerah kepada kepercayaan agama yang mengatakan bahwa bahasa pertama diberikan oleh Tuhan kepada manusia pertama.”
( Encyclopaedia Britannica, hal. 702 )
Seorang anak belajar berbicara selagi dalam ayunan, dari ibunya dan dari orang-orang sekelilingnya. Sepanjang masa proses ini berlangsung dari generasi ke generasi. Maka jelas bahwa bicara tidaklah mungkin tanpa pengajaran. Dan selamanya timbul pertanyaan siapakah yang telah mengajarkan berbicara pertama kali. Latar belakang inilah yang membuat Professor. Schmidt dan ahli-ahli lain untuk kembali kepada teori agama bahwa Tuhan lah yang telah mengajar manusia.
Kajian lebih lanjut terhadap teori-teori di atas menunjukkan kemiripan dengan teori evolusi Darwin. Dengan kata lain, seperti halnya kera berkembang menjadi manusia, bunyi dan isyarat berkembang menjadi bahasa dan bicara. Sedang kita semua tahu bahwa tak ada suatu masa yang tercatat oleh sejarah yang menunjukkan bahwa ada manusia yang tanpa kemampuan berbicara. Ini justru yang membedakan dia dari binatang. Bangsa-bangsa yang paling primitif, yang menempati pelosok terpencilpun di bagian bumi ini tidaklah hidup tanpa bahasa mereka sendiri. Kalau kita mengatakan orang mempunyai mata untuk melihat, telinga untuk mendengar, tangan untuk memegang, hidung untuk membau, adalah kebenaran semata. Akan tetapi bagaimana kita mengatakan ada orang yang punya lidah bukan untuk berbicara sedang itu adalah kebutuhan utama? Sedang manusia adalah pemikir. Sebuah kata Sansakerta untuk manusia ialah Munish, artinya pemikir. Jadi kalau kita mengatakan bahwa manusia adalah pemikir sedang dia tidak punya alat untuk mengungkapkan pikiran-pikirannya, ini adalah suatu paradox. Berbicara berarti berpikir keras, dan berpikir adalah berbicara batin. Dalam bahasa Yunani, log-os artinya satu kata dan satu pikiran, yang keduanya tak terpisahkan.
Manusia dalam bahasa Arabnya ialah insan artinya makhluk sosial. Mereka harus mengurusi tuntutan rumah tangganya dan harus bergabung satu dengan yang lain. Bahkan seorang pendeta atau pertapapun harus dilayani oleh orang lain. Ikatan sosial memerlukan seseorang bergabung dengan orang lain dengan beberapa cara. Disinilah kemasyarakatan membedakan manusia dari makhluk yang lain.
Pepatah Persi mengatakan:
“Manusia bergandengan dengan manusia lain, tapi gunung tidak harus bergandengan dengan gunung lain.”
Kalau manusia tak bisa berbicara pada awal hidupnya di dunia, bagaimana ia bisa memenuhi kebutuhan-kebutuhan hariannya. Mudahnya kita mengatakan manusia tidak bisa hidup tanpa pertolongan dan tanpa bicara.
Kitab suci Al-Qur’an mengatakan:
“Yang Maha Pemurah. Menciptakan insan (makhluk sosial). Mengajarinya pandai berbicara.” (55 : 1,3,4)
Atas kemurahan-Nyalah Dia memberi berbagai kemampuan dan lingkungan yang diperlukan untuk bermasyarakat. Maka tidak mungkin Dia tak memberi manusia kemampuan berkomunikasi, sebab jelas bahwa bahasa tak bisa ditinggalkan dalam pergaulan. Mencipta makhluk sosial tanpa potensi berbahasa adalah sebuah antitesa yang mencolok, berarti meniadakan kemurahan Tuhan, dan sekaligus kegagalan penciptaan itu. Demikianlah kurang lebih arti ayat di atas.
Dalam situasi apapun hanyalah masuk akal untuk berkesimpulan bahwa manusia telah selalu dikaruniai alat berbicara yang ia gunakan dengan sebaik-baiknya untuk menyampaikan ide, dan ia tidak pernah bisu. Ini cocok dengan sejarah, pengalaman dan nalar, sedang teori-teori yang lain tidaklah berdasar ilmu dan observasi, melainkan hanya berdasar praduga dan perkiraan belaka.
Kitab Perjanjian Lama mengatakan:
“Dan dari tanah Tuhan membentuk setiap binatang melata dan unggas yang di udara, dan membawa mereka itu kepada Adam untuk mengetahui nama mereka; Dan apapun yang Adam sebutkan, itulah nama mereka. Dan Adam memberi nama kepada semua ternak dan unggas di udara serta semua binatang melata.” (Kitab Kejadian)
Sedang Kitab Suci Al-Qur’an mengatakan:
“Dan Allah mengajari Adam semua nama-nama.” (2 : 32)
Pendek kata, asal mula bahasa tersembunyi jauh dimasa lampau, tak tercapai oleh pengetahuan manusia. Spekulasi dan prasangka tidak bisa kita pakai sebagai bukti. Hanya Sang Pencipta-lah yang mampu menyingkap tabir ini melalui wahyu. Dan ternyata Qur’an telah menyingkapnya dengan pasti.
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar